Welcome

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

`AyunK`

`AyunK`

SIKAP KERJA DAN KEPUASAN KERJA

Selasa, 05 Januari 2010

TUGAS PSIKOLOGI MANAJEMEN (KE-11)

DWI MAYANG SARI  (3PA06)

“SIKAP KERJA DAN KEPUASAN KERJA”


Sikap yang harus di miliki oleh seorang pekerja keras. Menjadi pekerja keras bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang, perlu adanya hubungan dan motivasi yang kuat antara kemauan dan kesadaran diri terhadap pekerjaan dan target yang ingin di capai seseorang. Ada banyak hal yang harus kita lakukan untuk menjadi pekerja keras dalam setiap bidang dan urusan diantaranya yaitu:
Pertama, ia harus konsisisten dan mau bekerja sesuai dengan program kerja yang sudah di tentukan.pekerjuaan uyang diberikan kepadanya harus dikerjakan dengan baik sesuai dengan keahlian yang dimilkinya. Pekerja yang baik tidak akan mengeluk, enggan jika menghadapi kesulitan.ia selalu konsisten dengan garapan kerja sehingga target yang telah di tetapkan dapat tercapai dengan baik.
Kedua, memiliki kemampuan bekerja sama dengan orang lain, tidak sungkan melakukan konsultasi dengan atasan ataupun rekan kerja sekalipun membawa kesuksesan terhadap kesuksesan kerja kita.
Ketiga, jangan malu bertanya jika memenuhi kesulitan dalam mengerjakan sewsuatu..janagan malu mengemukakan permasalahan yang timbul dalam pekerjaan pada seseorang yang lebih ahli atau senior di atas kita karena bila tidak ditanyakan akan menyebab kan kebingungan pada diri kita dan pekerjaan kitapun akan terhambat oleh permasalahan yang sebenarnya akan tunntas bila kita bertanya.
Keempat, biasakan membuat catatan kerja tentang kegiatan kerja yang akan dilakukan. Catatan kerja tersebut sebaiknya wajib dimiliki dan di bawa agar pekerjaan yang di lakukan tidak ada yang terlewatkan.
Kelima, senantiasa meminta pendapat teman yang lebih senior tentang pekerjaan yang kita lakukan.hal ini memiliki dua keuntungan, keuntungan pertama, dapat membuat ruang lingkup pekerjaaan yang di lakukan sem akin jelas kemudian keuntungan yang kedua dapat membuat orang yang bersangakutan merasa dihargai oleh sikap kita ini.
kepuasan kerja sebagai “the way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan. Menurut Wexley dan Yukl.


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Schemerhorn mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu
1.      Pekerjaan itu sendiri (Work It self), Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja.
2.      Penyelia (Supervision), Penyelia yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering dianggap sebagai figur ayah/ibu dan sekaligus atasannya.
3.      Teman sekerja (Workers), Merupakan faktor yang berhubungan dengan sebagai pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
4.      Promosi (Promotion), Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja.
5.      Gaji/Upah (Pay), Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.

• Aspek-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja disebutkan oleh Stephen Robins :
1.      Kerja yang secara mental menantang, Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalamai kesenangan dan kepuasan.
2.      Ganjaran yang pantas, Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang manakutkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Serupa pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dari pekerjaan mereka.
3.      Kondisi kerja yang mendukung, Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit).
4.      Rekan kerja yang mendukung, Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan seorang juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila penyelia langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
5.      Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut, dan karena sukses ini, mempunyai kebolehjadian yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam kerja mereka.



            Tidak ada satu batasan dari kepuasan kerja/pekerjaan yang dirasakan paling sesuai oleh para penulis dan peneliti. Siegel dan Lane (19082) menerima batasan yang diberikan oleh Locke, yaitu bahwa kepuasan kerja adalah : “ the appraisal of opne’s job as attaining or allowing the attainment with or help fulfill one’s basic needs.” Secara singkat, tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya. Locke selanjutnya mencatat bahwa perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja cenderung lebih mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang pengalaman-pengalaman kerja pada waktu sekarang danm lampau daripada harapan-harapan untuk masa yang akan datang.
            Dari batasan Locke di atas juga dapat disimpulkan adanya dua unsur yang penting dalam kepuasan kerja, yaitu nilai-nilai pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan dasar. Nilai-nilai pekerjaan merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tugas pekerjaan. Yang ingin dicapai ialah nilai-nilai pekerjaan yang dianggap penting oleh individu. Dikatakan selanjutnya bahwa nilai-nilai pekerjaan harus sesuai atau membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari tenaga kerja yang berkaitan dengan motivasi kerja.
            Howell dan Dipboye (1986) memanmdang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.

Model A
Kondisi     Sikap    Motivasi   Unjuk
Kerja        Kerja     Kerja         Kerja

Model B
Kondisi   Motivasi   Unjuk   Sikap
Kerja       Kerja         Kerja    Kerja

Model C
Kondisi   Motivasi   Sikap
Kerja1     Kerja 1      Kerja

Kondisi   Motivasi   Sikap
Kerja 2                Kerja 2     Kerja
(Howell & Dipboye, 1986).

            Gambar 10.1. Beberapa Model dari Hubungan Kausal antara Motivasi Kerja, Unjuk-kerja, dan Sikap Kerja

            Mereka selanjutnya membahas tiga model yang mencerminkan hubungan-hubungan yang berbeda antara sikap dan motivasi untuk berunjuk-kerja secara efektif. Gam,bar 10.1 memperlihatkan pandangan-pandangan alternatif dari hubungan kausal antara motivasi kerja, unjuk-kerja, dan sikap yang berkaitan dengan kerja.
            Pada Model A, kondisi kerja mempengaruhi sikap tenaga kerja terhadap pekerjaan dan organisasi, dan sikap ini mempengaruhi secara langsung besarnya upaya untuk melakukan pekerjaan.
            Berdasarkan model A, manajemen perlu menciptakan kondisi kerja yang akan menimbulkan sikap kerja yang positif terhadap pekerjaan dan organisasi. Sikap kerja yang positif menyebabkan tenaga kerja bekerja keras sehingga cenderung menjadi efektif.
            Pandangan lain terungkap dalam, Model B. Menurut model ini sikap kerja merupakan akibat dari, dan bukan yang menentukan motivasi kerja dan unjuk-kerja. Tenaga kerja yang bekerja keras dan yang berhasil akan merasakan bangga terhadap capaian mereka dan akan mengembangkan sikap-sikap yang positif terhadap pekerjaan mereka dan organisasi. Ini berarti bahwa menajemen tidak perlu secara langsung memperhatikan kepuasan kerja dari para tenaga kerja. Perhatian secara langsung perlu ditunjukan kepada tiondakan yang dapat menyakinkan bahwa para tenaga kerja akan bekerja keras, bahwa mereka memiliki peluang untuk berunjuk-kerja secara memuaskan, dan bahwa mereka mendapat cukup balikan tentang hasil unjuk-kerjanya ini.
            Model C mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan kausal langsung secara sikap kerja dan unjuk-kerja. Sikap tidak menyebabkan timbulnya unjuk-kerja tertentu. Sikap kerja dan unjuk-kerja merupakan hasil terpisah dari kondisi kerja dan motivasi kerja yang berbeda. Salah satu implikasi dari model C ialah bahwa manajemen perlu melaklukan serangkaian tindakan tertentu jika menginginkan timbulnya sikap kerja yang positif dan perlu melakukan serangkaian tindakan yang lain jika menginginkan memotivasi para tenaga kerja untuk mencapai tingkat unjuk-kerja yang lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahjwa model C nampaknya memperoleh tunjangan yang paling banyak, yang berarti bahwa untuk keseluruhan tujuan-tujuan praktikal, sikap kerja dan unjuk-kerja m,erupakan hasil-hasil yang tyerpisah dari proses-proses yang serupa tetapi tidak sama.
            Sikap kerja yang dibicarakan dalam model A,B,dan C mengungkapkan kepuasan kerja. Makin positif sikap kerjanya, makin besar kepuasan kerjanya.
            Dari Model C dapat disiompulkan bahwa antara sikap kerja (kepuasan kerja) dan unjuk-kerja tidak ada hubungan sama sekali. Seseorang dapat merasa puas dengan pekerjaannya, dan unjuk-kerjanya dapat rendah, sedang atau tinggi. Misalnya seseorang tenaga kerja sewaktu ditanya apakah puas dengan pekerjaannya menjawab sangat puas. Ketika diminta menjelaskan jawabannya ia katakan bahwa ia dapat bebas menentukan waktu masuk kerja, dan memiliki waktu luang banyak yang dapat ia isi dengan kegiatan-kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan tugas pekerjaannya. Orang lain dapat merasa puas denmgan pekerjaannya karena merasa berhasil, dan dinilai oleh atasannya sebagai berhasil, mencapai unjuk-kerja yang tinggi dan bermutu.
            Herzberg (Bab 9, subbab 3) dalam penelitiannya menemukan adanya sekelompok aspek/ciri pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja, yang ia namakan faktor-faktor motivasi. Motivasi kerja menimbulkan kepuasan kerja (model C1). Ciri-ciri pekerjaan tertentu (miasalnya besarnya tanggung jawab yang dihayati pada pekerjaannya) menimbulkan motivasi kerja yang tinggi yang menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi.
            Porter-Lawler (1968) yang mengembangkan model motivasi harapan dari Vroom melihat hubungan timbal balik antara motivasi kerja dan kepuasan kerja.
            Motivasi (effort), kemampuan, dan persepsi peran, menghasilkan unjuk-kerja (performance) dan memperoleh imbalan(reward).  Imbalan dinilai apakah adil (perceived equittable reward), hasilnya menentukan besar kecilnya kepuasan kerja. Nilai dari imbalan yang diperoleh (value of reward) dan probabilitas memperoleh imbalan dengan upaya tertentu (Perceived Effort – Reward Probability) menentukan besarnya motivasi yang akan menghasilkan unjuk-kerja tertentu dan seterusnya. Dalam model Porter-Lawler di atas, kepuasan kerja menentukan tinggi rendahnya motivasi./ motivasi menentukan tinggi rendahnya unjuk-kerja. Unjuk-kerja menghasilkan imbalan ( dinilai adil atau tidak) yang menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja. Dalam model ini kepuasan kerja adalah hasil dari perbedaan antara imbalan yang dianggap pantas (yang diharapkan) dengan imbalan yang nyatanya diperoleh.

1.      Teori-teori Kepuasan Kerja

Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)

            Teori pertentangan dari Locke menyatakan bahwa kepuasan atau ketidak puasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai : 1. Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seseorang individu dengan apa yang ia terima, dan 2. Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek pekerjaan bagi individu. Misalnya untuk seseorang tenaga kerja, satu aspek  dari pekerjaannya (misalnya:peluang untuk maju) sangat penting, lebih penting dari aspek-aspek pekerjaan lain (misalnya penghargaan), maka untuk tenaga kerja tersebut kemajuan harus dibobot lebih tinggi daripada penghargaan.
            Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginannya dan hasil-keluarannya. Tambahan waktu libur akan menunjang  kepuasan tenaga kerja yang menikmati waktu luang setelah bekerja, tetapi tidak akan menunjang kepuasan kerja seorang tenaga kerja lain yang merasa waktu l; uangnya tidak dapat dinikmati. Contohnya, seorang yang berkepribadian type A ataui seorang yang kecanduan kerja’ (workaholic) tidak akan senang jika mendapat waktu libur tambahan.

Model dari Kepuasan Bidang / Bagian (Facet Satisfaction)

            Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan teori keadilan dari Adams. Menurut model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya dengan rekan kerja, atasan,. Gaji) jika jumlah dari bidang mereka persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima.
            Misalnya persepsi seorang tenaga kerja terhadap jumlah honorarium yang seharusnya ia terima berdasarkan unjuk-kerjanya dengan persepsinya tentang honorarium yang secara aktual ia terima. Jika individu mempersepsikan jumlah yang ia terima sebagai lebih besar daripada yang sepatutnya ia terima. Ia akan merasa salah dan tidak adil. Sebaliknya jika ia mempersepsikan bahwa yang ia terima kurang dari yang sepatutnya ia terima, ia akan merasa tidak puas.
            Menurut Lawler, jumlah dari bidang  yang dipersepsikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaannya dan bagaiomana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan perbandingan bagi mereka. Tambahan lagi, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang dari apa yang secara aktual mereka terima tergantung dari hasil-keluaran yang secara aktual mereka terima dan hasil-keluaran yang dipersepsikan dari orang dengan siapa mereka bandingkan diri mereka sendiri. Model ini diringkas dalam Gambar 10.3.
            Untuk menentukan tingkat kepuasan kerja tenaga kerja. Lawler memberikan nilai bobot kepada setiap bidang sesuai dengan nilai pentingnya bagi individu, ia kemudian mengkombinasikan semua skor kepuasan bidang yang dibobot ke dalam satu skor total.

Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)

            Teori proses-bertentangan dari Landy memandang kepuasan kerja dari perssektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium).
            Teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang berhubungan) memacu mekanisme fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membuat aktif emosi yang bertentangan ataui berlawanan. Di hipotesiskan bahwa emosi yang berlawanan, meskipun lebih lemah dari emosi yang asli, akan terus ada dalam, jangka waktu yang lebih lama.
            Teori ini menyatakan bnahjwa jika orang memperoleh ganjaran pada pekerjaan mereka merasa senang, sekaligus ada rasa tidak senang (yang lebih lemah). Setelah beberapa saat rasa senang menurun dan dapat menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke normal. Ini demikian karena emosi tidak-senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama.
            Berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu, akibatnya ialah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai.

2.      Faktor-faktor Penentu Kepuasan kerja
     
      Banyak faktor yang lebih teliti sebagai faktor-faktor yang mungkin menentukan kepuasan kerja. Berikut ditinjau faktor-faktor ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan, gaji dan penyeliaan.

Ciri-ciri Intrinsik Pekerjaan
     
            Menurut Locke, ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas. Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan diatas, yaitu tingkat tantangan mental. Konsep dari tantangan yang sesuai merupakan konsep yang penting. Pekerjaan yang menuntut kecakapan yang lebih tinggi daripada yang dimiliki tenaga kerja, atau tuntutan pribadi yang tidak dapat dipenuhi tenaga kerja akan menimbulkan frustasi dan akhirnya ketidakpuasan kerja.
            Berdasarkan survei diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut ialah :
1.      Keragaman ketrampilan. Banyak ragam ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan.
2.      Jati diri tugas (task identity). Sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya, pekerjaan pada perakitan.
3.      Tugas yang penting (task significance). Rasa pentingnya tugas bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai  kepuasan kerja.
4.      Otonomi. Pekerjaan yang memberikan kebebasan, ketidakgantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja.
5.      Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja.

            Model karakteristik pekerjaan dari motivasi kerja menunjukkan hubungan yang erat dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja bersamaan dengan motivasi internal yang tinggi. Konsep sama yang diajukan oleh Herzberg, yang mengelompokkan ciri-ciri pekerjaan intrinsik kedalam kelompok motivator.
            Namun perlu ditambahkan catatan tentang keragaman keterampilan yang diperlukan oleh pekerjaan agar tidak membosankan. Di pabrik-pabrik rokok kretek di Jawa Tengah (Kudus) danm Jawa Timur (Blitar, Malang) bekerja beberapa ratus ribu buruh wanita, yang telah bertahun-tahun melakukan pekerjaannya secara manual, mengelinting rokok dengan alat manual sederhana, memotong panjangnya rokok sesuai standar, membungkus rokok,dan seterusnya. Tidak sedikit buruh yang bekerja di pabrik-pabrik rokok tersebut, secara turun temurun. Ketrampilan jari dan tangan yang diperlukan tidak beragam, namun bagi mereka pekerjaannya tidak membosankan. Gejala ini perlu diteliti lebih lanjut.

Gaji Penghasilan, Imbalan yang Dirasakan Adil (Equittable Reward)
           
            Siegel & Lane mengutip kesimpulan yang diberikan oleh beberapa ahli yang meninjau kembali hasil-hasil penelitian tentang pentingnya gaji sebagai penentu dari kepuasan kerja, yaitu bahwa para sarjana psikologi telah secara tradisional dan salah meminimasi pentingnya uang sebagai penentu kepuasan kerja. Ternyata, menurut hasil penelitian yang dilakukan Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan.
            Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda. Di samping memenmuhi kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah (makanan, perumahan), uang dapat merupakan simbol dari capaian (achievement), keberhasilan, dan pengakuan/penghargaan. Lagi pula uang mempunyai  kegunaan sekunder. Jumlah gaji yang diperoleh dapat secara nyata mewakili kebebasan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan (misalnya mendirikan perusahaan baru, mendirikan sekolah, berlibur keliling dunia, dan sebagainya).
            Dengan menggunakan teori keadilan dari Adams dilakukan berbagai penelitian dan salah satu hasilnya ialah bahwa orang yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami distress atau ketidakpuasan. Kajian yang dilakukan dalam laboratorium mendukung hasil tentang gaji yang terlalu kecil, namun hasil tentang gaji yang terlalu besar tidak jelas meyakinkan.
            Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja.
            Herzberg memasukkan faktor gaji/imbalan kedalam faktor kelompok Hygiene. Jika dianggap gajinya terlalu rendah, tenaga kerja akan merasa tidak puas. Namun jika dirasakan tinggi ataui dirasakan sesuai dengan harapan, maka iostilah Herzberg adalah tenaga kerja tidak lagi tidak puas. Artinya tidak ada dampak pada motivasi kerjanya.
            Uang atau imbalan akan mempunyai dampak terhadap motivasi kerjanya jika besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya. Jika, misalnya, seorang pramuniaga (salesmen) berhasil menjual barang dagangannya melebihi jumlah tertentu, maka ia akan mendapatkan pembayaran tambahan sejumlah presentase tertentu dari jumlah harga barang yang berhasil dijual. Ia mendapat komisi. Untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi (sesuai dengan ia perlukan), pramuniaga akan memberikan effort, meningkatkan motivasi kerjanya agar berhasil memperoleh penghasilan sesuai dengan apa yang ia perlukan.
     
Penyeliaan
           
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada dua ciri kepemimpinan yang secara konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja, yaitu penegangan rasa (consederation). Hubungan antara aspek-aspek lain dari penyeliaan dan kepuasan kerja adalah kurang jelas dan hasilnya saling bertentangan.
            Locke memberikan kerangka kerja teoretis untuk memahami kepuasan tenaga kerja dengan penyeliaan. Ia menemukenali dua jenis dari hubungan atasan-bawahan: hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Misalnya jika kerja yang menantang penting bagi tenaga kerja, penyelianya membantu memberikan pekerjaan yang menantang kepadanya. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antarpribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Misalnya atasan dengan bawahannya saling tertarik karena dua-duanya senang bermain bridge, atau dua-duanya mempunyai pandangan hidup yang sama. Berdasarkan model dari Locke ini orang dapat mempunyai hubungan keseluruhan yang baik tanpa harus mempunyai hubungan fungsional yang baik, dan sebaliknya. Menurut Locke, tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan seorang atasan ialah jika kedua jenis hubungan adalah positif.
            Penyeliaan merupakan salah satu faktor juga dari kelompok  faktor hyegene dan Herzberg. Namun jika cara penyeliaan dilakukan oleh atasan yang  memiliki ciri-ciri pemimpin yang transformasional maka tenaga kerja akan meningkatkan motivasinya dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.

Rekan-rekan Sejawat yang Menunjang

            Dalam Bab 6 telah diuraikan tumbuhnya satu organisasi dari satu orang. Setiap pekerjaan dalam organisasi memiliki kaitannya dengan pekerjaan lain. Terjadi diferensiasi pekerjaan mendatar dan tegak. Dalam perkembangan selanjutnya, coprak interaksi antarpekerjaan tumbuh berbeda-beda.
            Ada tenaga kerja yang dalam menjalankan tugas pekerjaannya memperoleh masukannya (bahan dalam bentuk tertentu) dari tenaga kerja lain. Keluarannya (barang yang setengah jadi) menjadi masukan  untuk tenaga kerja lainnya. Misalnya pekerja mendapat tembakau dan kertas rokok sebagai masukan, melinting kertas rokok kretek yang ujungnya masih belum rata, tembakaunya masih keluar. Rokok setengah jadi merupakan masukan dari pekerja lain yang memotong rapi tembakau yang berlebih. Rokok yang sudah terpangkas  merupakan masukan untuk pekerja membungkus rokok dan seterusnya. Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak, yang bercorak fungsional. Kejengkelan timbul jika masukan yang diterima tidak memenuhi  mutu dan tidak memenuhi jumlah yang ditentukan. Dalam kenyataannya hal ini jarang terjadi, bahkan dicegah jangan sampai terjadi. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka, dalam jumlah tertentu. Berada dalam satu ruangan kerja, sehingga mereka dapat saling berbicara ( kebutuhan sosialnya dipenuhi). Corak kepuasan kerja disini bersifat kepuasan kerja yang tidak menyebabkan peningkatan dari motivasi keja.
            Ada satuan kerja yang para tenaga kerjanya masing-masing memiliki tugas yang dapat mereka lakukan secara mandiri dikoordinasi oleh pimpinan satuan kerja. Misalnya, bagian penjualan (sales). Setiap pramuniaga bekerja sendiri melayani calon pembeli. Disinipun rekan sejawat yang bekerja dalam ruangan yang sama terutama memberikan kepuasan terhadap kebutuhan sosial masing-masing.
            Di dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja  sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka  (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri) dapat dipenuhi, dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka. Misalnya pada Kelompok Gugus Kendali  Mutu yang merupakan problem-solving team.

Kondisi Kerja yang Menunjang.

            Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas, yang bercahaya lampunya m,enyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan (uncomfortable) akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruangan kerjanya. Perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk, dengan peralatan kerja yang enak untuk digunakan, meja dan kursi kerja yang dapat diatur tinggi-rendah, miring-tegak duduknya. Kondisi kerja yang memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.

Berkaitan dengan kepuasan kerja, Terri G. Winardi (1986), mengemukakan bahwa seseorang bekerja dengan penuh semangat bila kepuasanya yang diperoleh dari pekerjaannya tinggi dan pekerjaan tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan pegawai.

Disiplin
Disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Secara etiomologis, kata “disiplin” berasal dari kata Latin “diciplina” yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat (Moukijat 1984).  Pengertian disiplin dikemukakan juga oleh Nitisemito (1988), yang mengartikan disiplin sebagai suatu sikap, perilaku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari perusahaan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Perilaku disiplin karyawan merupakan sesuatu yang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi perlu dibentuk. Oleh karena itu, pembentukan perilaku disiplin kerja, menurut Commings (1984) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:

1) Preventive dicipline
Preventive dicipline merupakan tindakan yang diambil untuk mendorong para pekerja mengikuti atau mematuhi norma-norma dan aturan-aturan sehingga pelanggaran tidak terjadi. Tujuannya adalah untuk mempertinggi kesadaran pekerja tentang kebijaksanan dan peraturan pengalaman kerjanya.

2) Corrective discipline
Corrective discipline merupakan suatu tindakan yang mengikuti pelanggaran dari aturan-aturan, hal tersebut mencoba untuk mengecilkan pelanggaran lebih lanjut sehingga diharapkan untuk prilaku dimasa mendatang dapat mematuhi norma-norma peraturan.
Pada dasarnya, tujuannya semua disiplin adalah agar seseorang dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang disetujui oleh perusahaan. Dengan kata lain, agar seseorang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.
Namun demikian, ketika bekerja, seorang karyawan dapat menampilkan perilaku yang tidak disiplin. Gibson dkk. (1988) mengemukakan beberapa perilaku karyawan tidak disiplin yang dapat dihukum adalah keabsenan, kelambanan, meninggalkan tempat kerja, mencuri, tidur ketika bekerja, berkelahi, mengancam pimpinan, mengulangi prestasi buruk, melanggar aturan dan kebijaksanaan keselamatan kerja, pembangkangan perintah, memperlakukan pelanggaran secara tidak wajar, memperlambat pekerjaan, menolak kerja sama dengan rekan, menolak kerja lembur, memiliki dan menggunakan obat-obatan ketika bekerja, merusak peralatan, menggunakan bahasa atau kata-kata kotor, pemogoan secara ilegal.






DAFTAR PUSTAKA

Munandar, Ashar. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press 2001).
Anoraga, Pandji. 1992. Psikologi Kerja. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sarwoto, Drs. 1986. Dasar-Dasar Organization & Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.

0 comment:

Posting Komentar